Melembagakan
Social Enterpreneurship Di Lingkungan Perguruan Tinggi
(Memenangkan
Hadiah Ke-2 Lomba Karya Tulis Ilmiah Dosen Unisba 2007, 18 November 2007)
ABSTRAK
Kemiskinan merupakan permasalahan kompleks yang perlu
diatasi dengan melibatkan peran serta banyak pihak, termasuk kalangan perguruan
tinggi. Dari sekian banyak strategi mengentaskan kemiskinan, pendekatan social
enterpreneurship yang bertumpu pada semangat kewirausahaan untuk tujuan-tujuan
perubahan sosial, kini semakin banyak digunakan karena dianggap mampu
memberikan hasil yang optimal. Konsep atau pendekatan ini layak diujicobakan
dalam lingkup perguruan tinggi karena gagasan dasarnya sebenarnya sesuai dengan
Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya aspek pengabdian masyarakat. Caranya
adalah dengan menerjemahkan konsep social enterpreneurship pada empat level:
kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring evaluasi.
I.Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah
Kemiskinan sesungguhnya telah menjadi masalah dunia
sejak berabad-abad lalu. Namun, realitasnya, hingga kini kemiskinan masih
menjadi bagian dari persoalan terberat dan paling krusial di dunia ini.
Teknologi boleh semakin maju, negara-negara merdeka semakin banyak, dan
negara-negara kaya boleh saja kian bertambah (pun semakin kaya!). Tetapi, jumlah
orang miskin di dunia tak kunjung berkurang. Kemiskinan bahkan telah
bertransformasi menjadi wajah teror yang menghantui dunia.
Bagaimana gambaran kemiskinan yang melingkupi kita
saat ini? Data World Bank 2006 menunjukkan, setidaknya terdapat 1,1 milyar
penduduk miskin di dunia. Jumlah penduduk miskin di Indonesia (yang
dikategorikan supermiskin oleh World Bank) pada tahun 2007 mencapai 39 juta
orang atau 17,75 persen dari total populasi. Untuk wilayah Jawa Barat, yang
punya cita-cita meningkatkan poin IPM menjadi 80 pada 2008, jumlah penduduk
miskin mencapai 5,46 juta orang, atau sekitar 13,55 persen dari total penduduk
miskin di Indonesia. Memprihatinkan, karena data ini memperlihatkan adanya
peningkatan penduduk miskin di Jawa Barat sebanyak 317.000 orang! Ini berarti,
program-program pengentasan kemiskinan yang digagas pemerintah pusat maupun
daerah telah gagal mengentaskan penduduk Jawa Barat dari cengkeraman
kemiskinan.
Seiring berkembangnya pemikiran bahwa kemiskinan
adalah masalah struktural, maka upaya untuk mengatasi kemiskinan pun kini
dikaitkan dengan perbaikan sistem dan struktur, tidak semata-mata bertumpu pada
aksi sesaat berupa crash program. Sebuah upaya yang kini populer adalah
mengembangkan konsep social enterpreneurship (selanjutnya disingkat SE—pen.),
atau kewirausahaan sosial, yang bermaksud menggandengkan kekuatan kapitalisme
dengan komitmen sosial bagi komunitas di sekitarnya.
Makalah ini tidak bermaksud membahas metode dan
operasionalisasi Grameen Bank. Sesuai dengan tema karya tulis yang difokuskan
pada upaya perguruan tinggi dalam mengentaskan kemiskinan, makalah ini
menggagas alternatif-alternatif yang bisa dilakukan oleh kalangan perguruan
tinggi untuk berperan-aktif mengatasi persoalan kemiskinan, disemangati oleh
spirit SE.
1.2 Perumusan Masalah
Bertitiktolak dari latar belakang permasalahan, maka
masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sbb. “Bagaimana melembagakan konsep
SE di lingkungan perguruan tinggi untuk membantu mengatasi masalah kemiskinan?”
Permasalahan yang general ini kemudian dibagi menjadi beberapa identifikasi
permasalahan, sbb.
Bagaimana konsep SE diterjemahkan sebagai bagian dari
Tri Dharma Perguruan Tinggi?
Bagaimana rumusan skema langkah-langkah dalam
melembagakan SE di lingkungan perguruan Tinggi?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan utama penulisan adalah menggambarkan bagaimana
kemiskinan dapat coba diatasi melalui peran perguruan tinggi lewat strategi
pelembagaan SE. Tujuan ini secara spesifik terbagi menjadi:
Penerjemahan konsep SE sebagai bagian dari Tri Dharma
Perguruan Tinggi. Perumusan skema langkah-langkah dalam melembagakan SE di
lingkungan Perguruan Tinggi. Manfaat yang bisa diperoleh dari karya tulis ini
adalah sbb. Pada level praktis, penelitian ini memperlihatkan sebuah skema yang
applicable untuk melembagakan konsep SE di lingkungan Perguruan Tinggi. Pada
level sosial, melalui skema SE Unisba dapat turut serta menyumbangkan
alternatif solusi mengatasi persoalan-persoalan kemiskinan, terutama di
lingkungannya.
2. Kerangka Pemikiran
Ragangan, atau kerangka pemikiran, berisi uraian logis
mengenai konsep-konsep yang terkait dengan permasalahan. Dalam membincangkan
kemiskinan, sebagai penghantar menuju pada pembahasan, setidaknya ada tiga hal
yang perlu dijadikan landasan diskusi. Hal pertama berkenaan dengan pembahasan
mengenai konsep-konsep kemiskinan dalam upaya memahami kompleksitas
permasalahan kemiskinan. Kedua, gambaran mengenai kemiskinan di Jawa Barat
sebagai upaya mengaitkan pembahasan makalah dengan konteks permasalahan yang
dihadapi di lapangan. Ketiga, uraian konsep SE yang dijadikan pendekatan utama
dalam makalah ini untuk memberikan solusi sesuai dengan tema penelitian.
2.1. Mendefinisikan Kemiskinan
The poor will always be with us. Inilah idiom populer
tentang kemiskinan yang dikutip oleh sosiolog kemiskinan paling populer saat
ini, Zygmunt Baumant (1998:1). Idiom tersebut memberi makna bahwa
kemiskinan—dan orang-orang miskin—adalah kondisi inheren dalam masyarakat
manapun, dulu dan sekarang, kemungkinan di masa depan jika dunia tak berubah.
Poverty, atau kemiskinan pada dasarnya adalah kondisi kekurangan. Ada banyak
cara memaknai ‘kekurangan’, karena itu, Wikipedia merinci setidaknya terdapat 3
pendekatan dalam mendefinisikan kemiskinan.
Kemiskinan
yang dideskripsikan sebagai kekurangan material need. Kemiskinan, dalam hal
ini, didefinisikan sebagai kondisi di mana seseorang atau sebuah komunitas
kekurangan esensial untuk memenuhi standar kehidupan minimum yang terdiri dari
sandang, pangan, papan (sumberdaya material).
Kemiskinan
yang dideskripsikan dari aspek hubungan dan kebutuhan sosial, seperti social
exclusion (pengucilan sosial), ketergantungan, dan kemampuan untuk
berpartisipasi dalam masyarakat, termasuk pendidikan dan informasi)
Kemiskinan
yang dideskripsikan sebagai kurangnya pendapatan dan kemakmuran—yang ditetapkan
berdasarkan indikator-indikator tertentu. Dari sinilah munculnya pemilahan
kemiskinan secara global berdasarkan pendapatan harian keluarga, yaitu kurang
dari $1 atau $2 sehari. Konkretnya, survei data riset World Bank “Voices of the
Poor”, terhadap 20.000 penduduk miskin di 23 negara (termasuk Indonesia!),
faktor-faktor kemiskinan dapat diidentifikasi sebagai kehidupan yang sulit,
lokasi yang terpencil, keterbatasan fisik, hubungan timpang gender, problem
dalam hubungan sosial, kurangnya keamanan, penyalahgunaan kekuasaan, lembaga
yang tidak memberdayakan, terbatasnya kapabilitas, dan lemahnya organisasi
komunitas (Wikipedia, 2007).
Jelas, permasalahan kemiskinan bukan terletak pada
ketidakmampuan memenuhi standar-standar ekonomi yang didasarkan pada ukuran
material resources. Adapula kondisi kekurangan social resources yang
menyebabkan kemiskinan. Itu sebabnya kemiskinan begitu kompleks, mencakup
berbagai bidang, hingga kemiskinan acap pula disebut sebagai plural
poverty—kemiskinan plural.
Guna
mengatasi kemiskinan, Wikipedia merinci sejumlah strategi sbb.
Strategi
pertumbuhan ekonomi.
Penciptaan
pasar bebas.
Bantuan
langsung.
Perubahan
lingkungan sosial dan kapabilitas warga miskin.
Millenium
Development Goals.
Pendekatan
berbasis kultural.
Di Indonesia, pada tahun 1970-an,
pendekatan yang digunakan untuk mengatasi kemiskinan adalah pemenuhan kebutuhan
dasar. Ini meliputi pemenuhan kebutuhan pangan senilai 2100 kalori per orang/hari,
adanya fasilitas kesehatan dasar, air bersih, sanitasi, tempat tinggal, dan
akses pendidikan. Memasuki dekade 1990-an, upaya pengentasan kemiskinan
difokuskan pada pemberdayaan masyarakat, dengan cara meningkatkan kapabilitas
SDM. Ini ditempuh lewat pembangunan infrastruktur pedesaan, distribusi aset
ekonomi dan modal usaha, serta penguatan kelembagaan masyarakat melalui program
berskala nasional meliputi IDT (Inpres Desa Tertinggal), P3DT (Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal), hingga KDP (Kecamatan Development
Program). Kini, yang coba diterapkan dalam pembangunan nasional adalah
pendekatan berbasis hak (rights based approach). Wujudnya adalah Strategi
Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), yang secara pelahan diupayakan
melalui pemenuhan sepuluh hak-hak dasar, yaitu hak atas pangan, layanan
kesehatan, layanan pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, tanah,
lingkungan hidup dan sumber daya alam, rasa aman, dan hak untuk berpartisipasi.
Dalam rumusannya, SNPK memperlihatkan adanya pergeseran paradigma
kemiskinan—yang kini tidak lagi terbatas pada upaya mencukupi kebutuhan
material, tetapi juga meliputi pemenuhan kebutuhan sosial.
2.2. Gambaran Kemiskinan di Jawa
Barat
Sebelum menyoal wajah kemiskinan di Jawa Barat, mari
sejenak kita cermati data-data ‘kekayaan’ propinsi yang strategis ini. Pertama,
Jawa Barat adalah propinsi terkaya di Indonesia dalam kategori populasi
penduduk (39 juta jiwa, yang artinya sekitar 17.80% dari total populasi
Indonesia), mengalahkan Jawa Tengah (32 juta jiwa) dan Jawa Timur (36 juta
jiwa). Jawa Barat adalah propinsi kedua terpadat setelah DKI Jakarta (1126
jiwa/km2). Nilai APBD Jawa Barat pada tahun anggaran 2007 sebesar Rp 5,2
trilyun rupiah. Namun, sumber pemasukan sesungguhnya tidak cuma berasal dari
pos APBD propinsi. Digabungkan dengan DIPA, Dana Dekon, dan APBD-APBD Daerah
Tingkat II, angka keseluruhannya bisa mencapai Rp. 45-47 milyar! Gubernur Jawa
Barat H. Danny Setiawan bahkan berani mengasumsikan, bila dibagikan maka
seorang warga Jawa Barat kebagian setidaknya Rp. 1 juta per tahun.
Dari segi sosial budaya, masyarakat Jawa Barat dikenal
sebagai masyarakat agamis—dominan Islam. Toleransi umat beragama boleh
dibanggakan, dan potensi konflik tergolong rendah. Jawa Barat juga dikenal
sebagai gudangnya warga yang kreatif, sehingga keunggulan wisatanya, misalnya,
tidak perlu mengandalkan sumberdaya alam. Wisata belanja dan lifestyle menjadi
unggulan Bandung. Bahkan, awal tahun ini, masyarakat industri kreatif Bandung
memproklamirkan Jawa Barat dan Bandung sebagai ikon industri kreatif.
Sesungguhnya, ini modal sosial yang penting. Tanpa penanganan serius dari
pemerintah lokal saja, industri kreatif Jawa Barat sudah mampu unjuk gigi.
Apalagi kalau ditangani pemerintah secara serius.
Namun, Jawa Barat juga memiliki segudang permasalahan,
di antaranya kebijakan birokrasi yang tidak kondusif bagi pertumbuhan industri
maupun pengentasan kemiskinan, penanganan masalah sosial yang masih bersifat
sporadis dan reaksioner, kerusakan lingkungan dan penataan wilayah yang parah,
serta kegagalan pemerintah propinsi merumuskan target dan rencana pembangunan
yang visioner dan realistis. Ambisi pemerintah propinsi yang menetapkan
peningkatan poin IPM menjadi 80 pada tahun 2008, misalnya, tidak dibarengi
langkah nyata perbaikan infrastruktur maupun kebijakan, sehingga tahun ini IPM
hanya meningkat tak lebih dari 0.71.
Bagaimana wajah kemiskinan di Jawa Barat? Bulan
Agustus 2007, BPS melansir data yang mengejutkan. Jumlah penduduk miskin di
Jawa Barat bertambah 317.000 jiwa. Totalnya, 5,45 juta jiwa atau 13.5% dari
total penduduk Jawa Barat. Proporsi antara warga miskin perkotaan dan pedesaan
relatif berimbang—sebanyak 51% warga miskin bermukim di pedesaan, jumlahnya
mencapai 2,8 juta jiwa. Bicara soal lokasi, wilayah Pantura menjadi
kantong-kantong kemiskinan di Jawa Barat. Diperkirakan 5 juta penduduk miskin
berada di sabuk Pantura.
Profil kemiskinan di Jawa Barat cukup memprihatinkan.
Sumbangan terbesar kemiskinan, yaitu sebesar 73%, diakibatkan ketidakmampuan
mencukupi kebutuhan makanan. Fluktuasi harga beras dan kini, harga minyak,
menjadi biang keladinya. Belum lagi transisi konversi energi—yang tentunya
punya dampak sosial-ekonomi yang cukup signifikan. Daya beli yang rendah, dan
tingginya pengangguran juga menjadi persoalan, di samping kenaikan UMR yang
tidak memadai bila dibandingkan dengan kebutuhan fisik minimum keluarga.
Tahun lalu, jumlah penduduk miskin di Jawa Barat
sebesar 5,14 juta jiwa. Dilihat dari data penerima Bantuan Langsung Tunai
(BLT), jumlah keluarga miskin di Jabar 1,06 juta keluarga, kategori sangat
miskin 615.875 keluarga, dan hampir miskin mencapai 1,22 juta keluarga.
Kenaikan angka penduduk miskin tahun ini menunjukkan kegagalan program-program
pengentasan kemiskinan di Jawa Barat. Sama halnya dengan propinsi Indonesia
lainnya, pelbagai strategi nasional pengentasan kemiskinan pernah menyentuh
Jawa Barat. Mulai dari IDT, P2KP, JPS, hingga BLT. Selain itu, masih terdapat
pula Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS), Program Beasiswa dan Bantuan
Operasional Sekolah untuk Sekolah Dasar dan Menengah serta Ibtidaiyah (DB-BOS),
JPS Khusus Bidang Sosial, Prakarsa Khusus untuk Penganggur Perempuan (PKPP),
Padat Karya Perkotaan (PKP), Pemberdayaan Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis
Ekonomi (PDM-DKE). Mengingat tingginya intensitas kemiskinan di Jawa Barat,
nilai proyek yang diserap propinsi ini senantiasa tergolong tinggi. Sebagai
gambaran, untuk P2KP yang tahun ini digabungkan dengan Program Pengembangan
Kecamatan (PPK) di bawah payung Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri (PNPM Mandiri), dana yang digelontorkan untuk Propinsi Jawa Barat
mencapai Rp. 276,020 milyar untuk 220 kecamatan. Sebanyak 123 kecamatan di
pedesaan menerima dana sebesar Rp. 133,850 milyar. Sisanya, 97 kecamatan di perkotaan
menerima Rp. 142,170 milyar.
Selain
program pengentasan kemiskinan nasional, Propinsi Jawa Barat juga memiliki
program penanggulangan tersendiri, berupa:
Program
Dakabalarea (Kepgub No. 2/Th. 1999).
Gerakan
Rereongan Sarupi.
Gerakan
Jumat Bersih.
Gerakan
SARASA.
Program
Raksa Desa.
Program
Pendanaan Kompetensi IPM (PPK-IPM) (Kepgub No. 34/Th. 2005).
Program
Dakabalarea yang merupakan program pemberian kredit dengan pola bagi hasil
kepada pengusaha mikro & usaha kecil hingga th. 2005 telah menggulirkan
dana tak kurang dari Rp. 93.657.109.350 dari target Rp. 66.770.000.000 untuk
3.065 kelompok dengan jumlah anggota sebanyak 26.886 orang. Sedangkan dana yang
digelontorkan melalui PPK IPM pada tahun 2006 mencapai Rp. 190 milyar,
diperuntukkan bagi 9 kabupaten/kota yang proposalnya terpilih. Untuk tahun
2007, 6 kabupaten/kota terpilih berhak mendapatkan dana senilai Rp. 315 milyar.
Khusus untuk kota Bandung, dana Bantuan Langsung Mandiri (BLM) yang dikucurkan
tahun 2007 mencapai Rp. 8.8 milyar.
Upaya pemerintah melalui inisiatif pendanaan dan
penyusunan program seperti ini sesungguhnya mencerminkan kehendak serius
mengentaskan kemiskinan. Namun, dalam pelaksanaannya ternyata masih mengandung
kelemahan. Seperti diungkapkan oleh Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan, upaya
selama bertahun-tahun menghabiskan dana milyaran rupiah mudah sekali
digoncangkan oleh kenaikan BBM atau fluktuasi harga sembako. Sejumlah pengamat
menilai, kegagalan tersebut dikarenakan antara lain faktor pertumbuhan jumlah
angkatan kerja yang relatif tinggi, akibat jumlah penduduk usia sekolah yang
putus sekolah dan terpaksa masuk pasar kerja, serta jumlah migran yang masuk
untuk tujuan bekerja. Padahal, di sisi lain, jumlah kesempatan kerja relatif
stagnan, karena pertumbuhan ekonomi belum cukup tinggi, laju investasi asing
belum optimal, dan iklim usaha belum kondusif..
Berhubung kemiskinan adalah masalah yang kompleks,
tentu penanganannya tidak bisa distrukturkan secara tersentralisir. Penanganan
kemiskinan juga menuntut kepekaan sosiokultural. Kucuran dana dan modal saja
tidak cukup, pembukaan kesempatan kerja juga belum tentu memberdayakan, malah
bisa menimbulkan ketergantungan. Tetapi, di sisi lain, penanganan kemiskinan
secara sporadis, tanpa disain atau skema penanggulangan terpadu yang jelas
indikator pencapaiannya, juga dapat menggagalkan upaya mengeluarkan orang dari
lingkaran kemiskinan. Dalam konteks inilah konsep social enterpreneurship mau
pun social enterpreneurs layak diperkenalkan, karena pendekatan ini berupaya
menanggulangi kemiskinan lewat disain atau skema pengentasan kemiskinan yang
matang, didukung oleh sosok-sosok yang kompeten.
2.3. Social Enterpreneurship: Sebuah
Wacana
Tri Mumpuni Wiyatno adalah orang yang selalu yakin
bahwa desa merupakan sumber kekuatan ekonomi yang belum tergarap optimal.
Banyak persoalan pembangunan akan terselesaikan, jika desa menjadi pusat-pusat
pertumbuhan baru yang mandiri. Ia mewujudkan gagasannya dengan menyebarluaskan
teknologi mikrohidro untuk membangun pembangkit listrik skala kecil ke
desa-desa. Maria Hartiningsih, seorang jurnalis cum pejuang feminis di
Indonesia melaporkan, bersama lembaganya Institut Bisnis Ekonomi Kerakyatan
(IBEKA) Tri Mumpuni turun ke desa-desa, memberi pelatihan manajemen air ramah
lingkungan kepada penduduk setempat. Rakyat desa juga kemudian dilatih
memelihara alat, menghitung energi yang disalurkan, serta biaya yang diperlukan
karena umumnya mikrohidro dikelola secara swadaya. Begitu energi listrik
dialirkan dari rumah ke rumah, berbagai kegiatan ekonomi bisa dikembangkan.
Di belahan dunia lain, tepatnya di Palmares do Sul,
Brazil Utara, Fabio Rosa bergelut dengan masalah yang sama. 25 juta penduduk
Brazil tidak punya akses pada listrik. Akibatnya, standar hidup mereka rendah.
Tak ada kulkas, lampu, apalagi komputer. Biaya penyediaan listrik untuk
mencahayai sebuah desa pada awal tahun 1980an, membubung tinggi pada angka
7.000 dollar. Ini sama artinya dengan 5 kali lipat income seorang petani miskin
selama sepuluh tahun! Fabio Rosa menjadikan Palmares sebagai model eksperimen
listrik pedesaannya yang pertama. Pada 1992, ia memutuskan mendirikan
perusahaan profit—Sistemas de Tecnologia Adequada Agroelectro (STA
Agroelectro)—dan mulai menyebarkan teknologinya ke desa-desa. Lewat skema
pembiayaan yang ekonomis, ditambah dengan pola ekonomi produktif yang
diperkenalkannya, STA berhasil melistriki tak kurang dari 800.000 rumah tangga.
John Wood adalah seorang eksekutif Microsoft bergaji
milyaran. Titik balik kehidupan Wood datang dalam sebuah liburan ke Nepal. Ia
bertemu dengan seorang guru, yang mengajaknya memanjat pegunungan selama 3 jam
untuk melihat sekolahnya. Sebuah sekolah yang hanya punya satu kelebihan: murid
yang banyak. Lain-lainnya persis seperti di Indonesia: kurang guru, kurang
sarana dan prasarana, termasuk perpustakaan. John Wood tersentuh, dan tahun
berikutnya ia datang membawa 3500 buku untuk sekolah itu, dan sekolah-sekolah
lain. Ia memutuskan meninggalkan Microsoft, mendirikan organisasi Room to Read,
dan saat ini telah mendirikan tak kurang dari 3600 perpustakaan di Asia. John
Wood bersama organisasinya juga melibatkan diri dalam penyusunan
program-program alternative pendidikan dasar di Asia dan Afrika.
Sebuah frase yang menyatukan Tri Mumpuni, Fabio Rosa,
dan John Wood adalah restless people (Bornstein, 2004: 1). Orang-orang yang
gelisah. Inilah orang-orang yang mencoba memecahkan masalah dalam skala besar.
Mereka sadar bahwa lilitan kemiskinan baru bisa dilepaskan jika seseorang itu
berdaya: berdaya ekonominya, berdaya mentalnya, berdaya lingkungan
sosial-politiknya. Mereka adalah social innovator, atau social entrepreneurs.
Mereka punya gagasan-gagasan kuat untuk memperbaiki kehidupan orang lain,
meningkatkan kualitas masyarakat. Mereka menyusun kerangka besar perubahan
tersebut, dan berjuang mempraktikkannya di pelbagai pelosok dunia.
Lantas, apa yang dimaksud dengan SE? Pertama-tama
perlu dibahas definisi kewirausahaan atau enterpreneurship. Kewirausahaan
didefinisikan sebagai individu (kelompok) yang dapat mengidentifikasi
kesempatan berdasarkan kemampuan, keinginan, dan kepercayaan yang dimilikinya,
serta membuat pertimbangan dan keputusan yang berkaitan dengan upaya
menyelaraskan sumber daya dalam pencapaian keuntungan personal (Otuteye &
Sharma, 2004 dalam Palestine, 2007). Pada intinya, kewirausahaan adalah
kemampuan untuk menangkap peluang dan dengan cara yang inovatif menciptakan
nilai tambah pada sesuatu yang tidak ada menjadi ada.
Di mana pun, model enterpreneurship atau kewirausahaan
mengandung dua prinsip: otonomi dan penentuan nasib sendiri
(self-determination). Prinsip otonomi diterjemahkan sebagai advokasi
masyarakat, sedangkan prinsip penentuan nasib sendiri (self-determination)
diterjemahkan sebagai prinsip kewirausahaan (Palestin, 2007). Selama ini,
kewirausahaan senantiasa dikaitkan dengan upaya memberdayakan diri/lembaga
dalam konteks ekonomi untuk menunjang kehidupan. Nah, yang menjadi pertanyaan
adalah apa bedanya model kewirausahaan ekonomi konvensional dengan definisi
kewirausahaan sosial.
Menurut Dave Roberts dan Christine Woods (2007),
“social entrepreneurship is a construct that bridges an important gap between
business and benevolence; it is the application of entrepreneurship in the
social sphere”. Sederhananya begini: social entrepreneurship adalah penerapan
prinsip kewirausahaan dalam lingkup sosial, yang ditujukan untuk mencapai
perubahan sosial tertentu.
Kewirausahaan sosial bisa dijalankan atas nama
perseorangan, bisa juga secara kelembagaan. Namun, karena skala perubahan yang
diharapkan sangat besar, maka lazimnya kewirausahaan sosial dijalankan oleh
badan-badan khusus untuk itu. Bagan berikut ini memperlihatkan rentang bentuk
kelembagaan di antara dua kutub: perusahaan bisnis tradisional di sebelah kiri,
dan LSM tradisional di sebelah kanan. Sumber: http://www.csef.ca/what_is_a_social_entrepreneur.php
Gerakan-gerakan yang murni SE berada dalam simpul
hybrid social enterprise, berupa badan yang didirikan dengan tujuan melakukan
aksi sosial, sehingga segala upaya pendanaan, kegiatan, mau pun fundraising
dibingkai dalam kerangka tersebut.
Bagaimana gerakan SE menjadi bagian dari upaya
pengentasan kemiskinan? Contoh paling gamblang diberikan oleh Professor M.
Yunus lewat Grameen Bank di Bangladesh. Didirikan sebagai bagian dari action
research Universitas Chittagong (1976), Grameen Bank memberikan kredit mikro
bagi komunitas miskin di Bangladesh. Jumlahnya hanya $27, digulirkan pada 42
keluarga. Namun, uang setara dengan Rp. 243.000,- itu mampu melepaskan keluarga-keluarga
tersebut dari jeratan rentenir.
Kini, lebih dari 2100 cabang Grameen Bank didirikan di
seluruh Bangladesh. Menurut catatan Wall Street Journal, seperlima kreditnya
sudah setahun ini macet. Tapi, jurnal yang sama juga mencatat, tingkat pengembalian
kredit mencatat rekor 98% untuk nasabah-nasabah perempuan. Setengah dari
peminjamnya (mendekati 50 juta nasabah), juga dinyatakan berhasil melepaskan
diri dari kemiskinan absolut. Ini terlihat dari standar yang diukur melalui
indikator anak-anak yang bersekolah sesuai tingkat umurnya, kemampuan memberi
makan keluarga tiga kali sehari, toilet dan air minum yang bersih, rumah
beratap, dan kemampuan pengembalian pinjaman sebesar 300 taka (atau senilai 4
dollar) per minggu.
Grameen Bank merupakan contoh organisasi SE yang
berhasil. Agar bisa mencapai kesuksesan yang sama, organisasi SE mesti memenuhi
prinsip-prinsip inovasi dalam praktik sbb.:
Institutionalize
Listening. Komitmen kuat untuk menyimak, mendengar suara-suara di lapangan.
Pay
attention to the exceptional. Yang dimaksud adalah kepekaan mengenali informasi
yang tak diduga, khususnya keberhasilan-keberhasilan tak terduga.
Design real
solutions for real people. Kelebihan social enterpreneur adalah mereka sangat
peka dan realistis dengan perilaku manusia.
Focus on
human qualities.
(Bronstein,
2004: 200-211)
Adalah
tantangan yang luarbiasa berat untuk bisa menemukan orang-orang seperti ini.
Pendekatan SE kini coba dipromosikan dalam makalah ini sebagai landasan bagi
perguruan tinggi untuk berkontribusi dalam upaya pengentasan kemiskinan.
Bagaimana konkretnya, dapat dilihat pada pembahasan berikut.
3. Pembahasan: Melembagakan SE di
Lingkungan Perguruan Tinggi sebagai Upaya Mengentaskan Kemiskinan
SE, kendati bukan konsep yang relatif baru, perlu
dipromosikan sebagai alternatif untuk mengatasi permasalahan kemiskinan, yang
didalamnya terkandung persoalan struktur, sosial politik, kebudayaan.
Pendekatan ini punya kelebihan: membumi, melibatkan setiap stakeholder secara
aktif, dan bertumpu pada inisiatif serta pemecahan solusi yang berasal dari
masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi dapat berperan di sini?
Pertama-tama, mari kita ingat bahwa institusi
pendidikan tinggi di Indonesia dibingkai oleh pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi. Tri Dharma Perguruan Tinggi mengandung
tiga dharma, yaitu: (1) Pendidikan dan
Pengajaran; (2) Penulisan Karya Ilmiah; dan (3) Pengabdian pada Masyarakat.
Sangat eksplisit terlihat bahwa pendekatan SE
sebenarnya adalah wujud dari aspek ketiga, yaitu pengabdian masyarakat. Jadi,
bicara soal tempat, SE punya tempat dan posisi yang jelas dalam Tri Dharma
Perguruan Tinggi.
Dengan segala keterbatasannya, sesungguhnya PT punya
potensi besar untuk mengatasi persoalan bangsa, utamanya mengentaskan kemiskinan,
bertitiktolak dari pendekatan SE. Caranya adalah dengan melembagakan konsep SE
di lingkungan PT. Hal ini dapat dicapai melalui dua langkah besar:
(1)
menerjemahkan konsep SE dengan pilar Tri Dharma Perguruan Tinggi maupun
visi-misi spesifik PT (dalam kasus Unisba, menerjemahkan konsep SE pada 3M);
dan
(2)
Menerjemahkan pendekatan SE dalam level aksi.
3.1. Menerjemahkan Konsep SE dalam
Konteks Perguruan Tinggi.
Menimbang literatur-literatur SE dalam tinjauan
pustaka, maka SE dalam lingkup perguruan tinggi harus diterjemahkan menjadi
aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat, berkesinambungan, melibatkan
seluruh civitas academica, dan melembaga.
Realistis, maksudnya program-program SE disesuaikan
dengan kebutuhan lapangan dan ketersediaan resources yang dimiliki perguruan
tinggi maupun komunitas.
Kreatif, maksudnya aktivitas SE mesti didesain secara
kreatif guna menemukan solusi terbaik.
Mengikat, maksudnya ada satu desain besar dan
timeframe yang jelas, serta indikator-indikator guna mengukur tingkat
keberhasilan program. Berkesinambungan, maksudnya program SE didesain bukan
untuk memberikan hasil sesaat, tetapi lebih mementingkan upaya-upaya kecil
namun berkelanjutan sehingga dampaknya lebih lama terasa. Melibatkan seluruh
civitas academica, maksudnya tidak menjadikan SE sebagai proyeknya salah satu
stakeholder universitas saja, misalnya dosen. Pihak lain seperti mahasiswa atau
tenaga-tenaga lain perlu diberi kesempatan dan pengalaman untuk berkiprah.
Sehingga, gerakan SE menjadi gerakan bersama.
Melembaga, maksudnya diinstitusionalisasikan secara
resmi sehingga bisa mengikat komitmen dan memberikan jaminan keorganisasian
yang jelas. Demikianlah prinsip-prinsip yang harus terkandung dalam setiap aksi
SE. Apabila sudah jelas prinsip-prinsip, tujuan, mau pun visi-misinya, apabila
PT memang benar-benar sudah memutuskan akan serius berkiprah dalam SE, maka
langkah selanjutnya adalah bagaimana mengoperasionalkan rencana besar ini dalam
langkah-langkah konkret.
3.2. Mengoperasionalkan SE di Lingkungan
Perguruan Tinggi
Langkah-langkah untuk mengoperasionalkan SE di
lingkungan PT dapat dirumuskan dengan mengacu pada level kelembagaan, level
regulasi, level aksi, dan level audit. Ketika level-level operasional ini
disilangkan dengan prinsip Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka hasilnya adalah
matriks, sbb.
Matriks
Operasionalisasi Social Enterpreneurship Untuk Perguruan Tinggi
No.
Pelembagaan
SE
Tridharma
Perguruan Tinggi
Pendidikan
dan Pengajaran
Penelitian
dan Karya Ilmiah
Pengabdian
Masyarakat
1. Level Kelembagaan
Mendirikan
SE Center di tingkat universitas
Melakukan
konsolidasi kelembagaan
Melakukan
pemetaan resources
Menjalin
relasi dan melakukan lobi-lobi internal maupun eksternal, apakah itu dengan
pemerintah, lembaga legislatif, sesama perguruan tinggi, maupun kontak dengan
perusahaan-perusahaan yang memiliki program corporate social responsibility.
Fundraising:
langkah dan aksi fundraising yang tidak norak dan mengandalkan pihak luar
semata, tapi elegan dan sesuai dengan semangat SE.
Mempublikasikan
jurnal-jurnal program SE.
Merencanakan
award-award (internal): SE Award Unisba, misalnya, untuk mahasiswa, dosen, dan
pusat kajian yang terpilih.
Berkompetisi
mengikuti award-award dari dalam dan luar negeri (eksternal): dari Pemerintah,
Kementerian, organisasi funding seperti Skoll Enterprise, Schwab Foundation,
Ashoka International, dll.
Menyusun
rencana jangka panjang dan jangka pendek.
Merumuskan
affirmative actions untuk melembagakan SE, mis. merencanakan program-program
pelatihan berbasis SE.
2. Level Regulasi
Memberlakukan
kurikulum wajib SE di tingkat fakultas
Memberlakukan
ketentuan penyisihan porsi penelitian dan karya ilmiah berwajah SE
Memberlakukan
ketentuan pengabdian masyarakat berbasis SE
3. Level Aksi
Mendata mata
kuliah yang berpotensi dijadikan bagian kurikulum wajib SE.
Menyusun dan
melaksanakan program-program penelitian berbasis SE.
Menyusun dan
melaksanakan PKM berbasis SE
Menyusun
atau mendampingi penyusunan silabi berbasis SE.
Melatih
dosen agar berwawasan SE.
Melakukan
pelatihan bagi penelitian berbasis SE.
Melakukan
pelatihan bagi PKM berbasis SE.
4. Level Audit/Monev:
Mengembangkan
panduan audit monev berbasis SE. Apa saja indikator-indikatornya?
Mengembangkan
indikator-indikator audit monev program pendidikan dan pengajaran berbasis SE.
Mengembangkan
indikator-indikator audit monev program penelitian dan karya ilmiah berbasis
SE.
Mengembangkan
indikator-indikator audit monev PKM berbasis SE.
Menyusun
program-program audit monev secara teratur di bidang pendidikan pengajaran
dengan indikator berbasis SE.
Menyusun
program-program audit monev secara teratur di bidang penelitian dan karya
ilmiah dengan indikator berbasis SE.
Menyusun
program-program audit monev secara teratur untuk PKM dengan indikator berbasis
SE.
Melakukan
audit monev dalam program pendidikan dan pengajaran berdasarkan
indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan
audit monev dalam program penelitian dan karya ilmiah berdasarkan
indikator-indikator berbasis SE.
Melakukan
audit monev dalam program PKM berdasarkan indikator-indikator berbasis SE.
Ketr. SE =
Social Enterpreneurship.
Matriks yang disajikan di sini hanya sekadar stimulan
untuk merumuskan langkah-langkah konkret yang bisa dilakukan PT untuk
mengentaskan kemiskinan dengan pendekatan social enterpreneurship. Walau
demikian, stimulan ini dapat dijadikan pijakan awal apabila PT memang serius
ingin berkontribusi mengentaskan kemiskinan, sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitas yang dimiliki.
3.3. Melembagakan SE di Unisba:
Studi Kasus SE di Kelas Filsafat Komunikasi
Sesungguhnya, Unisba memiliki potensi luarbiasa untuk
memberi kontribusi bagi pengentasan kemiskinan. Unisba mempunyai modal sosial
dari segi kelembagaan, sumberdaya manusia, potensi jejaring dan relasi, power,
serta potensi keuangan dan fasilitas. Modalitas brainware, hardware,
software-nya jelas sudah ada. Unisba juga bukan universitas yang terpisah dari
lingkungan sosialnya secara geografis. Terletak di Tamansari dan Ciburial,
warga Unisba punya kesempatan untuk berinteraksi secara intens dengan persoalan
sosial, sehingga tidak perlu kerepotan mencari target sasaran. Apalagi,
Kelurahan Tamansari maupun kawasan Ciburial adalah wilayah urban yang
memerlukan penataan dan pembinaan serius.
Dalam lingkup kelas, penulis mencoba bereksperimen
menerapkan pendekatan SE untuk mata kuliah Filsafat Komunikasi. Kepada
mahasiswa, diberikan tugas kelompok melakukan kerja volunteer di wilayah
Bandung. Lewat tugas ini, diharapkan mahasiswa mendapatkan pengalaman
bersentuhan langsung dengan permasalahan sosial, sehingga dapat menjadi
stimulan untuk menerapkan SE di masa mendatang. Tujuan lain yang diharapkan
adalah adanya kesempatan untuk mengasah nilai-nilai kemanusiaan, sambil
memperbaiki kualitas kepribadian.
Laporan-laporan yang dikumpulkan mau pun
dipresentasikan hasilnya di luar dugaan. Terbentuk sepuluh kelompok
beranggotakan 2-5 orang, dengan kiprah meliputi:
Volunteer Food-Not-Bombs, sebuah organisasi yang menampung sayuran reject
dari supermarket maupun pasar sayur petani Lembang, namun masih layak-olah.
Sayuran dimasak untuk anak-anak jalanan di Taman Lansia, Cilaki.
Reader di Panti Wyata Guna. Membacakan dan mencarikan buku-buku yang
diperlukan pelajar penghuni Wyata Guna.
Konselor bagi siswa-siswi SMU XX yang menghadapi permasalahan keluarga dan
problematika belajar.
Volunteer di Panti Wredha dan Panti Asuhan. Kegiatannya antara lain
merayakan 17 Agustusan di Panti Asuhan dan Panti Wredha sambil menyelenggarakan
bursa amal.
Volunteer di Panti Asuhan Bayi Sehat Muhammadiyah.
Trainer musik untuk anak-anak jalanan. Menyelenggarakan konser anak
jalanan, yang kini laris ditanggap di pelbagai event.
Mengorganisasikan tim kebersihan di lingkungan kos-kosan. Kini tidak
terbatas pada kos-kosannya sendiri tapi juga meluas ke kosan lain di
wilayahnya.
Kakak asuh bagi anak-anak SD dari keluarga tidak mampu. Kelompok ini bukan
saja secara teratur menyisihkan uang untuk membiayai SPP (Rp 25.000 s.d. Rp
75.000), tetapi juga mengupayakan buku-buku bekas (pelajaran maupun bacaan yang
sehat) dan menjadi mentor belajar. Sasaran mereka adalah anak-anak yatim/piatu
yang orangtuanya single parent, bekerja sebagai buruh atau pembantu.
Volunteer bagi TK di wilayah ekonomi kelas bawah. Kegiatan selain di dalam
kelas adalah menyelenggarakan lomba 17 Agustusan dan jalan-jalan ke Kebun
Binatang.
Volunteer untuk Harm Reduction, sebuah organisasi penanggulangan narkoba.
Dalam presentasi, anggota kelompok ini saling sharing, merefleksikan
pengalaman masing-masing. Hal yang menarik adalah mereka sama-sama tergerak
untuk meneruskan keterlibatannya. Mereka juga jadi lebih memahami realitas di
lapangan, permasalahan sosial di Bandung, serta terpicu semangatnya untuk
memberi kontribusi bagi sesamanya. Dalam konteks ini, pendekatan SE berhasil
memberikan pencerahan dan pengalaman. Pengelolaan kelas sangat low cost, karena
dengan prinsip otonomi, partisipasi, serta self-determination, mahasiswa bisa
berbuat banyak dan menemukan solusi-solusi kreatif.
Pendekatan ini layak diujicobakan sebagai bagian penciptaan kurikulum
berwajah SE. Padahal, ini baru level aksi institusional, sebatas menyentuh
salah satu kemungkinan aspek SE di lingkungan perguruan tinggi, seperti
tergambar dalam matriks tadi.
4. Penutup
Kemiskinan bagaikan benang kusut. Mengurai
kompleksitasnya butuh waktu, motivasi, komitmen, dan upaya setiap pihak. Konsep
SE yang dipromosikan sebagai pendekatan membuka peluang bagi perguruan tinggi
untuk memanfaatkan potensinya bagi upaya penanggulangan kemiskinan. Berikut
adalah kesimpulan karya tulis ini.
1. Dari
segi konsep, pendekatan SE sesungguhnya merupakan wujud prinsip Tri Dharma
Perguruan Tinggi, yaitu pengabdian masyarakat. Namun, agar lebih applicable, SE
perlu dilakukan lewat aktivitas yang realistis, kreatif, mengikat,
berkesinambungan, melibatkan seluruh civitas academica, dan melembaga.
2. Guna
menerjemahkan pendekatan SE pada level yang operasional, PT dapat mengikuti
skema atau langkah-langkah yang telah diidentifikasi dalam matriks, meliputi
level kelembagaan, regulasi, aksi, dan audit/monitoring-evaluasi.
Terkait dengan kesimpulan dan tujuan penulisan makalah
ini, maka saran-saran yang dapat diberikan mencakup beberapa hal:
1. Untuk
lingkup eksternal, PT perlu meningkatkan intensitas komunikasi dan interaksi
dengan pihak-pihak terkait seperti Pemda, sesama PT, pihak swasta, atau para
pebisnis yang punya concern terhadap perubahan sosial lewat program-program
CSR.
2. Pada
lingkup internal kelembagaan, PT perlu sesegera mungkin melakukan initial
assesment dan mengonsolidasikan resources-nya sebagai persiapan awal untuk
berkiprah dalam upaya penanggulangan kemiskinan. Termasuk menyiapkan SDM yang
bermutu lewat pelatihan dan upgrading.
Menutup tulisan ini, penulis ingin mengutipkan sebuah
hikmah dari kehidupan Rasulullah Muhammad SAW. Terlepas dari gaya hidup
sederhana (zuhud) yang diterapkannya, Rasulullah ternyata menaruh perhatian
pada masalah kemiskinan. Rasulullah acap menyatakan bahwa kemiskinan membawa
kekufuran (HR. Abu Nua’im yang diriwayatkan oleh Anas). Oleh karena itu, mencegah
mengurangi kemiskinan merupakan salah satu tindakan sosial nan mulia. Karena,
dapat mengurangi peluang kejahatan dan penyimpangan akidah. Itu sebabnya, dalam
beberapa riwayat dikisahkan betapa bijaknya Rasulullah menyikapi kejahatan yang
diakibatkan oleh kemiskinan. Rasulullah juga mengajarkan sikap hidup dan
doa-doa untuk menghindarkan manusia terjebak dalam kemiskinan.
Riwayat Rasulullah memperlihatkan pentingnya
mengupayakan penanggulangan kemiskinan. Perguruan tinggi, dalam kasus ini,
jelas mengemban tanggungjawab sosial untuk berkiprah di sini. Sudah saatnya
perguruan tinggi mendobrak status dan fungsi ekonomi yang lebih dominan,
berhenti didominasi dan diposisikan sebagai sekrup industri, dan mulai secara
serius memikirkan bagaimana mengatasi permasalahan bangsa, tanpa tergiring
lagi-lagi dalam pemikiran berparadigma ‘proyek cari duit’ dan ‘cari nama’.***
Daftar Pustaka
Buku.
Bauman,
Zygmunt. 1998. Works, Consumerism, and the New Poor. Philadelphia: Open
University Press.
Bornstein,
David. 2004. How to Change the World: Social Enterpreneurs and the Power of New
Ideas. Oxford: Oxford University Press.
Wood, John.
2006. Leaving Microsoft to Change The World (diterjemahkan oleh Widi Nugroho
menjadi “Kisah Menakjubkan Seorang Pendiri 3600 Perpustakaan di Asia). Jokja:
Bentang.
Koran.
Bawazier,
Fuad. Super Miskin. Artikel Opini dalam HU Republika, 16 April 2007.
Hartiningsih,
Maria. Energi Tri Mumpuni. Artikel Opini Kompas, 7 Oktober 2005.
Kustiman,
Erwin. Kemiskinan, Bahaya Laten Jawa Barat. Artikel Opini dalam HU Pikiran
Rakyat, Agustus 2007.
Natsir,
Irwan. Perencanaan Daerah. Artikel Opini dalam HU Pikiran Rakyat, 10 Januari
2007.
Jumlah
Penduduk Miskin Jawa Barat Bertambah. Berita HU Pikiran Rakyat, 9 Mei 2007.
Diperlukan
Strategi Baru Atasi Kemiskinan. Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
Gatot
Johanes Silalahi. Kesempatan Wirausaha Bagi Mahasiswa. Sinar Harapan, 2003.
www.sinarharapan.co.id/ekonomi/usaha/2005/0108/ukm3.html
Peranan
Kewirausahaan dalam Masyarakat. Berita HU Republika, 19 Maret 2003.
Internet.
Bondan
Palestin. 10 Januari 2007. Model Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam
Pengembangan Kesehatan Masyarakat. http://bondankomunitas.blogspot.com.
Roberts,
Dave dan Christine Woods. Changing the World in a Shoestring: The Concept of
SE. www.businessjournal.com.
Tanggal akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.55 WIB.
Suara
Pembaruan Daily dalam http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal
akses terakhir 19 September 2007, pk. 08.45 WIB.
Disinkom,
Jumat 31 Agustus 2007. www.bandung.go.id. Tanggal akses terakhir 21
September 2007, pk. 19.33 WIB.
Sumber lain:
Makalah
berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.” Dalam Seminar Nasional
“Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21
Agustus 2007. Bandung: Pemkot Bandung.
[1] Disebut supermiskin karena memiliki
penghasilan di bawah 1 dollar sehari, yang berarti tidak bisa memenuhi basic
needs. Data BPS memperlihatkan, tingkat pendapatan kelompok ini tak lebih dari
Rp. 5.095,- (Republika, 16 April 2007).
[2] Suara Pembaruan Daily dalam
http://www.mail-archive.com/cikeas@yahoogroups. Tanggal akses terakhir 19
September 2007, pk. 08.45 WIB.
[3] Kompas, 2 Agustus 2007.
[4] Agus Prabowo dan Didy Wurjanto, Tiga Pilar
Pengentasan Kemiskinan. www.kimpraswil.go.id.
[5] Irwan Natsir, Perencanaan Daerah, HU Pikiran
Rakyat 10 Januari 2007.
[6] Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS)
menyatakan, pembangunan Jabar pada 2006 masih menyimpan banyak persoalan yang
harus dibenahi. ”Parameter makro berupa IPM hanya meningkat 0,71 poin atau
menurun dibandingkan 2005 (0,99). IPM Jabar pada 2006 hanya 70,05 dari target
75,60. Ini harus menjadi perhatian karena target IPM 80 pada 2010 tinggal
menyisakan 3 tahun lagi,” ungkap juru bicara FPKS, Tate Qomarudin (HU Pikiran
Rakyat, 9 Mei 2007)
[7] Erwin Kustiman, Kemiskinan Bahaya Laten Jawa
Barat (HU Pikiran Rakyat, 2007).
[8] Data Litbang Kompas (2007) merinci, terjadi
kenaikan rata-rata upah minimum regional di Jabar hanya 4,04 persen, dari Rp
899.122 menjadi Rp 935.450 per bulan. Namun, proporsi kenaikan ini lebih rendah
dibandingkan dengan kenaikan pengeluaran masyarakat per bulan. Pengeluaran per
kapita per bulan meningkat 12,79 persen. Apa artinya naik penghasilan 4.04
persen kalau pengeluaran pun bertambah 12.79%?
[9] Disinkom, Jumat 31 Agustus 2007.
www.bandung.go.id.
[10] PPK IPM merupakan inisiatif Pemda Jabar
untuk menanggulangi kemiskinan dengan memberi stimulus pada kepada Pemerintah Kab/Kota
untuk dapat menggalang potensi stakeholders pembangunannya,
guna
merumuskan langkah dan strategi dalam peningkatan IPM di daerah masing-masing
dan menuliskannya dalam sebuah proposal yang diajukan kepada Gubernur. Data
Seminar Nasional “Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan
Kemiskinan” Bogor, 21 Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah
Daerah Jawa Barat.”
[11] Komposisi penggunaan dana meliputi 30% untuk
bidang pendidikan, 25% bidang
kesehatan
dan 45% untuk bidang ekonomi peningkatan daya beli. Data Seminar Nasional
“Meningkatkan Peran Sektor Pertanian dalam Penanggulangan Kemiskinan” Bogor, 21
Agustus 2007. Makalah berjudul “Kebijakan Pemerintah Daerah Jawa Barat.”
[13] “Diperlukan Strategi Baru Atasi Kemiskinan”.
Berita HU Pikiran Rakyat, 24 Desember 2005.
[14] Erwin Kustiman, Kemiskinan, Ancaman Laten
Jawa Barat. HU Pikiran Rakyat, 27 Juni 2005.
[15] Kompas, 7 Oktober 2005. Energi Tri Mumpuni.
[16] Bondan Palestin. 10 Januari 2007. Model
Kemitraan Keperawatan Komunitas dalam Pengembangan Kesehatan Masyarakat.
http://bondankomunitas.blogspot.com.
[17] Republika, 19 Maret 2003. Peranan
Kewirausahaan dalam Masyarakat.
[18] Changing The World On A Shoestring: The
Concept of Social Enterpreneurship. Journal of Business Review.
Lukman Ardie S